11.08.2011

Cita-cita Ketika Usia Dini

Cita-citaku ketika masih awal berseragam sekolah dasar hampir sama dengan kebanyakan anak lainnya. Ya, jadi Dokter. Keren sekali rasanya waktu itu ketika melihat dokter dengan setelan jas putih mentereng berkalung stetoskop yang ketika dipasang ditelinga dan diaphgramnya diketuk-ketuk akan menghasilkan suara yang memacu adrenalin. Apalagi ditambah image dokter yang memiliki kemampuan menyembuhkan penyakit yang parah sekalipun, membuat ku jatuh hati pada sosok si-penyembuh ini. Padahal kalau diingat-ingat penyakit ku yang paling parah ketika ditangani dokter ya asma, tapi entah kenapa kharisma sosok dokter ini menelusup dalam ke relung kalbuku. Hebat sekali ya bisa melancarkan lagi pernafasanku. Thanks to dr. Cahyo Kuntjoro!

Seiring berjalannya waktu pada sekolah dasar, akal sehatku menerima sinyal-sinyal informasi lain tentang cita-cita alternatif yang kemungkinan dapat aku raih ketika dewasa nanti selain Dokter. Mulai dari guru, pemain sepakbola profesional, sampai artis, yang jelas pasti tidak ada hubungannya dengan komputer. Aku pernah terpaksa mencoba mengajar teman-teman sekelasku sendiri waktu kelas 6 SD, ketika guru kelasku tidak masuk tanpa ada keterangan yang jelas. Bukan karena aku siswa terpandai di kelas, rangking ku pun jauh dibawah 3 besar, dan ketua kelas pun bukan. Tapi entah kenapa aku yang ditunjuk oleh guru kelas sebelah untuk membimbing teman-temanku belajar. Aku bingung mau ngajar apa, karena materi pelajaran pun aku tidak mengerti sepenuhnya. Bisa-bisa malah ditertawakan BigThree di kelasku. Setelah lama sekali aku memeras otak jawaban itupun muncul, akhirnya aku bikin lomba cerdas cermat saja, soalnya mengambil dari buku RPAL & RPUL sekolah dasar. Dan akhirnya ya sukses juga acara mengajarku, lomba berjalan meriah diiringi sorak sorai adik kelas yang berebutan mengintip lewat jendela. Saat itulah aku mulai belajar cara mengajar, bukan cara menjelaskan materi. Bagaimana me-manage anak kelas 6 SD sekitar 40 orang. Mulai saat itulah aku semakin terpacu untuk menjadi guru.

Selanjutnya cita-citaku adalah pemain sepakbola profesional. Ketika kelas 5 SD aku ditawari ikut sekolah sepakbola di daerahku, awalnya aku menolak karena pasti diminta biaya ketika mendaftar dan biaya bulanan. Hal tersebut bertolak belakang dengan prinsipku waktu itu, kalau hobi kenapa harus mbayar? Jelas pemikiran anak SD kan cuma mau mengambil enaknya saja, tidak mau repot dan maunya instan (dan terbawa hingga besar). Disekolah sepak bola pun aku tidak memberikan kontribusi besar pada SSB, yah sekedar latihan saja itupun jarang-jarang. Aku tidak sreg dengan timku itu, yah seperti mengelompok sendiri-sendiri. Berbeda jauh dengan teman-teman desaku ketika bermain bola dilapangan, berbaur campur aduk menjadi satu. Mungkin itu juga yang mempengaruhi aku untuk tidak jadi memilih pesepakbola profesioal menjadi cita-citaku. Untuk apa menjadi terkenal kalau tidak menikmati permainan sepakbola dan kenyamanan bersama tim sendiri. Cukup sepakbola dijadikan hobi yang dapat aku mainkan bersama teman-temanku. Yah itulah pemikiran anak menjelang pubertas, sisi idealisnya tinggi. Terkadang kalau diingat-ingat ya tersenyum sendiri.

Lalu sempat aku terpikir untuk menjadi artis, karena obsesiku dari kecil memang senang diperhatikan. Bakat itu terlihat ketika hari pertama aku masuk TK. Entah kenapa aku benar-benar ingat waktu kejadian itu, padahal umurku baru 3 Tahun. Aku ingat sekali ketika ibu Munawaroh memintaku maju ke depan kelas untuk menyanyi, dan entah kenapa aku tiba-tiba maju saja dan menyanyikan lagu yang waktu itu lagi HITS yaitu "Mas Joko Tak U'UK". Mungkin anda yang sudah lahir di awal tahun 90an tahu lagu ini. Diwaktu tidak ada yang berani maju untuk menyanyi, aku dengan percaya diriku langsung maju tanpa ragu, dimana anak-anak lain takut-takut dan seringkali kali melihat orang tuanya yang menunggu di depan kelas. Andai saja waktu itu ada yang merekam pasti aku sudah sangat berterima kasih sekali. Setelah lulus TK dengan menyandang predikat terbaik aku melanjutkan ke jenjang Sekolah Dasar yang ada didesaku. Awalnya kehidupanku disekolah dasar biasa-biasa saja, namun semua berubah ketika kelas 5 SD aku bersama dua kawanku dipindahkan ke sekolah unggulan. Aku mulai berkenalan dengan banyak teman-teman baru dan yang jelas persaingan juga semakin meningkat. Di sekolah yang baru itu aku agak sulit beradaptasi dengan materi pelajarannya, nilai-nilaiku pun jarang bisa diatas nilai 8, 7 saja sudah ngos-ngosan. Berbeda dengan kedua temanku, Rio dan Wisnu yang lancar jaya dalam memahami pelajaran. Bahkan mereka berdua masuk dalam 3 besar, hanya aku yang terlempar jauh dibawah 5 besar. Terus terang dari dulu aku paling tidak suka dengan yang namanya persaingan dan kompetisi, apalagi memperebutkan rangking 1. Bagiku peringkat tidaklah penting, yang penting aku mengerti apa yang aku pelajari. Makanya ketika ujian caturwulan ataupun ulangan biasa aku tidak mau mencontek dan membuka buku, tapi kalau ada temanku yang minta contekan ya aku beri. Yang paling aku sukai adalah ketika guru kelas kami, pak Hasan mengadakan cerdas cermat umum. Aku pasti selalu menjawab meskipun aku tidak yakin dengan jawabanku itu, dan hasilnya pun tak jarang aku mendapatkan pensil, uang tunai, dan perangkat alat tulis sekedar penyemangat untuk pemenang cerdas cermat. Teman-temanku sering heran kenapa aku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, jangankan mereka, aku sendiripun bingung.

Berkecimpung didunia keartisan sekolah memang sudah kualami dari dulu, puncaknya ketika aku mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Atas. Sebenarnya aku ragu untuk menulis ini, tapi setelah aku pikir apa salahnya berbagi cerita namun tidak sekarang. Lain kali saja kalau ada waktu, kesempatan, dan mood tentunya. Sekarang aku mau menceritakan hasil perenunganku tentang cita-cita masa kecilku. Kalau dipikir-pikir sugesti yang tertanam di alam bawah sadarku waktu kecil perlahan mulai teraplikasikan, mulai dari Guru, 'Dokter' (walaupun bukan dokter, hanya relawan yang mengerti sedikit sekali tentang kesehatan), dan Artis. Sekarang aku dan teman-teman mengajar kurikulum di salah satu SMP perbatasan Gresik dan Surabaya. Disamping itu juga kadang menyempatkan waktu luang untuk memberikan pelatihan komputer gratis di sekolah-sekolah, panti asuhan, instansi pemerintahan, dan pelayanan publik lainnya. Kemudian aku mengerti sedikit tentang kesehatan dan perawatan orang sakit disebabkan oleh kecelakaan ataupun darurat medis. Skill ini aku peroleh sejak menjadi relawan Palang Merah Indonesia, yah walaupun tidak keturutan menjadi dokter paling tidak aku bisa menolong orang yang membutuhkan. Kalau bakat artisku (senang diperhatikan) sepertinya masih ada walaupun sedikit. Saat ini aku tidak terlalu ingin terkenal, hanya ingin menyadari dan menemukan diri. Karena dari kecil aku lebih suka diamati dan mengamati orang lain, dari pada mengamati diri sendiri. Itu yang membuat aku seperti kehilangan identitas dan terus bertanya siapa aku sebenarnya. Mungkin itu passionku menemukan dan mencintai diri, jauh diatas obsesi cita-cita masa kecilku yang ingin menjadi Guru, 'Dokter', dan Artis. Tapi sisi baik yang dapat aku ambil yaitu sugesti sangat baik dilakukan ketika masih usia dini, dan secara tidak sadar akan berjalan menuju apa yang diinginkan tersebut. :)

11.04.2011

Saya ini Siapa ya?

Ya, ada yang tau? Siapa sih saya ini sebenarnya? Sampai detik ini pun saya masih bingung siapa saya ini. Seringkali berkecamuk dipikiran saya, seolah ada satu sisi diriku yang lain mengajak diskusi. Kira-kira begini diskusinya :

Saya : "Saya ini siapa?"

Aku : "Kamu itu manusia."

Saya : "Bukan itu yang aku tanyakan, kalau saya nanya saya itu apa? Baru deh cocok sama jawabanmu."

Aku : "Kamu itu Khusnul Imad."

Saya : "Itu nama saya"

Aku : "Hmm.. kamu itu anak dari bapakmu"

Saya : "Itu silsilah saya"

Aku : "Oh aku tahu, kamu itu mahluk ciptaan Tuhan"

Saya : "Saya sudah tau, tapi saya masih belum sreg"

Aku : "Mau gak mau ngaku kamu itu ya mahluk ciptaan Tuhan, walaupun jawabanku belum bisa memuaskan kamu tentang jati diri mu itu"

Saya : "Begitu ya? Lalu apa bedanya saya dengan hewan dan tumbuhan yang notabene juga mahluk ciptaan Tuhan?"

Aku : "Kamu itu mbok yo mikir, kamu dikasih otak, akal sehat dan kesadaran aja udah bagus"

Saya : "Lha kok gitu?"

Aku : "Iya dong, hewan aja punya otak dibarengi naluri, tapi gak punya logika. Lha kamu itu udah dikasih otak, akal sehat, sehingga bisa berlogika dan berimajinasi ria"

Saya : "Jadi manusia harus pakai akal sehatnya ya?"

Aku : "Ya itu tadi, kalau akal sehatnya jalan pasti dia mau berpikir. Berpikir baik-buruk, benar-salah, hitam-putih dan selalu mempunyai pilihan. Eman-eman kalau apa yang udah dikasih ma Gusti Allah tapi gak disumberdayakan, bisa-bisa digolongkan orang yang merugi dan menganiaya diri"

Saya : "Jadi bagaimana dengan orang yang memilih untuk tidak mau berpikir dan memilih dalam hidupnya? maunya cuma nrimo gitu saja."

Aku : "Nah ini nih yang seringkali kamu temui di dunia ini, banyak yang terdogma dengan istilah biarlah mengalir seperti air, dalam artian benar-benar mengalir dan selalu tak ada proses pemikiran disitu. Sebenarnya ini yang paling berbahaya."

Saya : "Bukankah itu terdengar sangat 'spiritual' sekali?"

Aku : "Kedengerannya sih iya, tapi kalau mau jujur dengan diri sendiri hal tersebut muncul karena ketidak sanggupan diri menghadapi realita, biasanya karena truma."

Saya : "Semacam menjadi ikhlas terhadap kehidupan gitu ya?"

Aku : "Itu bukan ikhlas, ikhlas itu di depan. Kalau tidak punya apa-apa dan rela itu baru namanya ikhlas. Kalau sudah berlalu / kehilangan itu namanya kalah, kerennya pasrah."

Saya : "Jadi begitu ya? berarti selama ini saya tertipu dong dengan istilah ikhlas itu tadi."

Aku : "Ya, karena kamu gak mau jujur dengan dirimu sendiri."

Saya : "Saya ini aneh ya, jujur dengan orang lain gampang sekali, tapi jujur dengan diri sendiri sulitnya minta ampun."

Aku : "Memang sih sulit, tapi mampu kan?"

Saya : "Mampu! ada teknik khusus gak buat jujur dengan diri sendiri?"

Aku : "Gampang kok, ya tinggal kenalin dirimu se-objektif mungkin, Gak usah pake acara Jaim dan gengsi, orang jaim dan gengsi itu minder loh aslinya."

Saya : "Kok Bisa?"

Aku : "ya istilahnya mereka itu menutupi diri mereka, berharap orang lain melihat dirinya bagus."

Saya : "Termasuk pemimpin yang pencitraannya berlebihan?"

Aku : "Ya, jelas sekali itu."

Saya : "Terus menurutmu bagaimana tentang konsep Tuhan sudah menentukan takdir manusia?"

Aku : "Takdir memang sudah ditentukan, tapi nasib kan manusia itu sendiri yang menentukan. Makanya manusia diberi akal untuk menentukan nasibnya sendiri dengan berfikir dan memilih dalam hidupnya. Kalau akal ndak digunakan ya sama saja menganiaya diri sendiri, terombang ambing bingung sama dirinya sendiri. Ya kayak kamu sekarang ini."

Saya : "Terus menurutmu saya harus bagaimana?"

Aku : "Ya hargai dirimu sendiri, cintai, jujur dengan keadaan diri. Kalau ada suatu kejadian yang merugikan diri didalam kuasamu atau sebenarnya kamu bisa mencegahnya, ya itu karena nasib yang kamu pilih sendiri. Percayalah, Gusti Allah itu pasti sudah memilihkan jalan hidup yang terbaik, tinggal kamu sendiri apakah dalam jalan hidupmu itu kamu memilih kejadian yang baik untukmu ataupun yang buruk. Bahkan kamu pun bisa memilih untuk tidak memilih. Ya terserah kamu! Pokoknya hidup itu pilihan."

Saya : "Jadi begitu ya? Baiklah, sepertinya untuk saat ini saya berhenti dulu untuk mencari tau siapa saya. Siapapun saya, saya akan menjadi diri saya yang terbaik. Bukan begitu?"

aku hanya tersenyum, lalu menghilang. Sekarang hanya ada saya yang masih kebingungan mencari jawaban.

Welcome